Selasa, 19 Juli 2016

ASAL USUL NAMA MBAY

          Oleh : Thalib bin Ismail, ST


Nama “MBAY” Ibukota Kabupaten Nagekeo tentu banyak yang belum tahu sejarah penamaan Mbay dan arti Mbay sendiri.

MBAY “ artinya daging,  daerah yang memiliki ternak dan daging yang melimpah ruah dan padang yang luas.
Pada zaman dahulu di pulau Flores ( Nusa Bunga ) khususnya di daerah pantai selatan dari Manggarai, Reo, Riung, Tadho sampai Mbay banyak didiami oleh Karaeng – Karaeng ( orang – orang Gowa ). Menurut cerita orang Mbay dan sekitarnya bahwa pasca perang Belanda dan Kerajaan Gowa somba opu, orang – orang kerajaan keluar dari kerajaan untuk melakukan pelayaran dan Karaeng Jogo / Karaeng Mbay sala satunya. Rombongan besar Karaeng Mbay dinakhodai oleh karaeng Ahmad/ Nakhoda Ahmad.
Tempat mereka berlabuh adalah di Bhobhelek sebelah timur Lengko sambi, mereka menggali sumur membuat rumah dan bermukim di wilayah Bhobhelek, sehingga tempat itu dinamakan “ BHOA MBAY” ( SUMUR MBAY ) DAN PASEK MBAY ( GARAM MBAY ) dan ada sampai sekarang. Kedatangan mereka membawa serta perlengkapan dan benda kerajaan seperti pakayan kerajaan, bendera, senjata ,dan masi tersimpan sampai sekarang di Nggolombay dan Kajulaki meski ada sebagian yang hilang. Perlengkapan benda – benda ini adalah bukti bahwa mereka berasal dari rumpun kerajaan bukan rakyat jelata. Karaeng Mbay memiliki 2 orang putri yang bernama Subhi dan Boe.
Penamaan Mbay adalah sebuah pensifatan kepada daerah ini yang memiliki banyak daging ternak. dan menjadi sebuah nama yang besar menjadi nama Ibokota Kabupaten Nagekeo.
Karaeng Mbay yang berasal dari Gowa merupakan generasi yang paling populer sebagai asal sejarah penamaan Mbay. Ras manusia selain dari rumpun Karaeng Mbay yang termasuk dalam lingkup Mbay adalah Mbuang, Kai, Rungang, Ri’a, Bhajeng,Lelak, Mbare, Toring, Towak, Mbaling dan lain sebagainya. Kedatangan mereka ada yang bersamaan dan ada yang belakangan, mereka membentuk tatanan kehidupan sosial secara alami, dengan adat istiadat yang sama, bahasa yang sama. Kedatangan mereka dominan dari arah barat, sehingga kalau kita telusuri bahasa Manggarai, Reo, Riung, Tadho, Lengko sambi, Nggolonio, Towak, Mbaling, Malambay dan Mbay banyak kesamaan dah bahkan sama, yang semua dari arah barat. Mereka terikat dalam satu budaya “ Kapo woe atau Kapo ghoe ( berkeluarga ).
Ada beberapa contoh nama tempat berdasarkan sifat dan ciri khas daerah tersebut, misalnya “ Nggolonio ( Kampung Kelapa ), Alorongga ( Kali yang berongga ), Maropokot ( Tempat orang pukat ikan), Nangamese ( Kali besar ), Watu ndoang ( Batu kembar ), Ta’i lebu ( Kotoran domba ), Perebhunga ( Kolam kerbau yang banyak ditumbuhi pohon bhunga ), Aeramo dan lain sebagainya.
Tulisan ini sebatas sejarah penamaan Mbay....

PERTEMUAN MBAY DAN DHAWE
Ketika itu di era Karaeng Mbay, di kampung  Ola Dhawe sudah ada kehidupan masyarakat adat, kehidupan mereka pada umumnya berkebun dan berburu ( boaloza ) atau dalam bahasa Mbay lako kemper. Ada seorang putra tuan tanah Ola Dhawe yang menjadi cikal bakal persehatian Mbay – Dhawe bernama Tuju Bae, ketika masi kecil anak ini selalu menangis, kategori ini dalam bahasa Mbay adalah “ anak te sangka” anak yang menangis tetapi tak tahu sebabnya”
Sang bapaknya berkata” nak engkau selalu menangis seperti ini nanti bapak pasangkan engkau dengan anak Karaeng Mbay, dan kalimat ini selalu diulang – ulang ketika Tuju Bae menangis seraya menghibur anak yang lagi bersedih.
Ketika beranjak dewasa anak ini pingin tahu siapa gerangan “ Karaeng Mbay, ia menelusuri kali Aesesa dan sampailah ke Bhobhelek di rumahnya Karaeng Mbay. Rumah Karaeng Mbay memiliki 3 tingkat pendopo/teras. Sang pemilik rumah dari dalam rumah bertanya “ Sei pea maing?/ siapa yang ada diluar?, Tuju Bae menjawab” Nga’o ( saya ) !, maka dari itu mereka mengenal nama Tuju Bae dengan nama “Ngao. Lambat laun mereka bertanya asal usul dan maksud kedatangan Tuju Bae, dengan jujur Tuju Bae mengutarakan niatnya untuk meminang putri Karaeng Mbay.
Tuju Bae menikah dengan Subhi yang menurut cerita menikah dengan cara Islam sehingga namanya di ganti Abdullah Tuju. Singkat cerita Tuju Bae membawa pergi Istrinya secara diam – diam ke kampung Ola Dhawe. Nakhoda Ahmad / Anakodha madhu selaku kapten kapal kembali dari Makassar untuk menikahi Subhi, tetapi karena Subhi telah memiliki suami maka ia mempersunting Boe sebagai istri.
Tibalah sebuah peristiwa” Lasa tana watu “ semacam wabah penyakit dimana banyak hewan ternak mati. Karaeng Mbay berkata pada keluarganya Ite pindah Lio len dan Nakhoda Ahmad menyanggah dan memberi tawaran” bagaimana kalau kita cari kembali Subhi, dan akhirnya disepakati oleh karaeng Mbay.
Mereka menyusuri Mbuang, Munde sampailah di Malambay/malabay ( sebuah kampung yang bahasanya sama persis bahasa Mbay). Mereka menyusuri Pakicaka pauhea sampailah di napu wedhu/napu welu tepat di kantor Lurah Dhawe sekarang. Ketika itu masyarakat Ola dhawe sedang melaksanakan upacara “ boaloza/ kemper/ berburu. Mereka melihat rombongan Karaeng Mbay, dengan pakayan – pakayan ala gowa makassar, dan prajurit – parajurit sambil membawa alat perang, harta benda dan bendera, dan mereka terkejut sehingga kabar ini sampai ke kampung Ola dhawe.
Tuan Tanah Ola dhawe beserta Tuju bae menemui Karaeng Mbay, dan menawarkan beberapa “ mera doka” /perhiasan. Namun Karaeng Mbay mengatakan” ghami nu lako lio len “ tuan tanah Ola dhawe berkata “ mi lako lio len le sena nggolo ngise toro te ana jodhok tegalai te ana radhi? Artinya “ kalian tetap berangkat ke Ende Lio apakah disana cara memetik terung dengan menjolok da memetik tomat gunakan tangga” le tana mose , se’e tanah mose won”dan akhirnya mahar subhi kepada Karaeng Mbay dari Tuju Bae adalah Tanah.
Mahar tanah ini dikukuhkan dengan upacara seremonial adat Mbay – Dhawe, dengan tujuan persehatian dan persaudaraan untuk selamanya.  Pekiklah kalimat “ Ulu watu goi ikon watu ndoa” maka ditancaplah sebatang kayu hidup ( Pu,u Mondo) dan disusun batu – batu mengitari kayu tersebut ( Pu,u mondo dan susunan batu masi ada terletak di kampung Nggolombay lama ). Pekikan Adat ( Bheak ) dari Dhawe “ Ruta Ma’e sua, watu mae waga, ruta sua ne watu waga foko bogho tuka bheka “ artinya “ Kotoran yang sudah jatuh jangan di angkat lagi, batu yang sudah terkubur jangan diungkit lagi, ketika melanggar leher akan bengkak perut akan pecah. Orang Mbay membalas pekikan yang berbunyi” Ghaju te woka nggate ngaku ghajun, ghaju pireng te dhawe, Watu te pike nggate ngaku watun, watu pireng te Mbay, Mbay ne Dhawe ka’e ne are weta ne nara tu’a ne kesa. Artinya “ Kayu ditanam bukan sekedar kayu tetapi tanda dari kemaluan lelaki dhawe, batu yang di susun bukan sekedar batu tapi tanda kemaluan wanita Mbay, Mbay dan Dhawe kakak beradik, dan bersaudara”, diserahkan pula seremonial adat mbela, sogo dan koro. Mbay dan Dhawe bersatu dan tak bisa dipisahkan dalam persekutuan masyarakat Mbay – Dhawe.