ASAL
USUL NAMA MBAY
Oleh : Thalib bin Ismail, ST

“ MBAY “
artinya daging, daerah yang memiliki
ternak dan daging yang melimpah ruah dan padang yang luas.
Pada zaman dahulu di pulau Flores ( Nusa Bunga )
khususnya di daerah pantai selatan dari Manggarai, Reo, Riung, Tadho sampai Mbay
banyak didiami oleh Karaeng – Karaeng ( orang – orang Gowa ). Menurut cerita orang
Mbay dan sekitarnya bahwa pasca perang Belanda dan Kerajaan Gowa somba opu, orang
– orang kerajaan keluar dari kerajaan untuk melakukan pelayaran dan Karaeng
Jogo / Karaeng Mbay sala satunya. Rombongan besar Karaeng Mbay dinakhodai oleh
karaeng Ahmad/ Nakhoda Ahmad.
Tempat mereka berlabuh adalah di Bhobhelek sebelah timur Lengko sambi, mereka menggali sumur membuat
rumah dan bermukim di wilayah Bhobhelek, sehingga tempat itu dinamakan “ BHOA MBAY” ( SUMUR MBAY ) DAN PASEK MBAY ( GARAM MBAY ) dan ada sampai
sekarang. Kedatangan mereka membawa serta perlengkapan dan benda kerajaan
seperti pakayan kerajaan, bendera, senjata ,dan masi tersimpan sampai sekarang
di Nggolombay dan Kajulaki meski ada sebagian yang hilang. Perlengkapan benda –
benda ini adalah bukti bahwa mereka berasal dari rumpun kerajaan bukan rakyat
jelata. Karaeng Mbay memiliki 2 orang putri yang bernama Subhi dan Boe.
Penamaan Mbay adalah sebuah pensifatan kepada daerah ini
yang memiliki banyak daging ternak. dan menjadi sebuah nama yang besar menjadi
nama Ibokota Kabupaten Nagekeo.
Karaeng Mbay yang berasal dari Gowa merupakan generasi
yang paling populer sebagai asal sejarah penamaan Mbay. Ras manusia selain dari
rumpun Karaeng Mbay yang termasuk dalam lingkup Mbay adalah Mbuang, Kai, Rungang, Ri’a, Bhajeng,Lelak,
Mbare, Toring, Towak, Mbaling dan lain sebagainya. Kedatangan mereka ada
yang bersamaan dan ada yang belakangan, mereka membentuk tatanan kehidupan
sosial secara alami, dengan adat istiadat yang sama, bahasa yang sama.
Kedatangan mereka dominan dari arah barat, sehingga kalau kita telusuri bahasa
Manggarai, Reo, Riung, Tadho, Lengko sambi, Nggolonio, Towak, Mbaling, Malambay
dan Mbay banyak kesamaan dah bahkan sama, yang semua dari arah barat. Mereka
terikat dalam satu budaya “ Kapo woe atau Kapo ghoe ( berkeluarga ).
Ada beberapa contoh nama tempat berdasarkan sifat dan
ciri khas daerah tersebut, misalnya “ Nggolonio ( Kampung Kelapa ), Alorongga ( Kali
yang berongga ), Maropokot ( Tempat
orang pukat ikan), Nangamese ( Kali
besar ), Watu ndoang ( Batu kembar
), Ta’i lebu ( Kotoran domba ),
Perebhunga ( Kolam kerbau yang banyak
ditumbuhi pohon bhunga ), Aeramo dan lain sebagainya.
Tulisan ini sebatas sejarah penamaan Mbay....
PERTEMUAN
MBAY DAN DHAWE
Ketika itu di era Karaeng Mbay, di kampung Ola Dhawe sudah ada kehidupan masyarakat
adat, kehidupan mereka pada umumnya berkebun dan berburu ( boaloza ) atau dalam bahasa Mbay lako kemper. Ada seorang putra tuan tanah Ola Dhawe yang menjadi
cikal bakal persehatian Mbay – Dhawe bernama Tuju Bae, ketika masi kecil anak ini
selalu menangis, kategori ini dalam bahasa Mbay adalah “ anak te sangka” anak yang menangis tetapi tak tahu sebabnya”
Sang bapaknya berkata” nak engkau selalu menangis seperti ini nanti bapak pasangkan engkau
dengan anak Karaeng Mbay, dan kalimat ini selalu diulang – ulang ketika
Tuju Bae menangis seraya menghibur anak yang lagi bersedih.
Ketika beranjak dewasa anak ini pingin tahu siapa
gerangan “ Karaeng Mbay, ia menelusuri kali Aesesa dan sampailah ke Bhobhelek
di rumahnya Karaeng Mbay. Rumah Karaeng Mbay memiliki 3 tingkat pendopo/teras.
Sang pemilik rumah dari dalam rumah bertanya “ Sei pea maing?/ siapa
yang ada diluar?, Tuju Bae menjawab” Nga’o ( saya ) !, maka dari itu
mereka mengenal nama Tuju Bae dengan nama “Ngao. Lambat laun mereka bertanya
asal usul dan maksud kedatangan Tuju Bae, dengan jujur Tuju Bae mengutarakan
niatnya untuk meminang putri Karaeng Mbay.
Tuju Bae menikah dengan Subhi yang menurut cerita menikah
dengan cara Islam sehingga namanya di ganti Abdullah Tuju. Singkat cerita Tuju
Bae membawa pergi Istrinya secara diam – diam ke kampung Ola Dhawe. Nakhoda
Ahmad / Anakodha madhu selaku kapten kapal kembali dari Makassar untuk menikahi
Subhi, tetapi karena Subhi telah memiliki suami maka ia mempersunting Boe
sebagai istri.
Tibalah sebuah peristiwa” Lasa tana watu “ semacam wabah
penyakit dimana banyak hewan ternak mati. Karaeng Mbay berkata pada keluarganya
“ Ite
pindah Lio len” dan Nakhoda Ahmad menyanggah dan memberi tawaran” bagaimana
kalau kita cari kembali Subhi, dan akhirnya disepakati oleh karaeng Mbay.
Mereka menyusuri Mbuang, Munde sampailah di
Malambay/malabay ( sebuah kampung yang
bahasanya sama persis bahasa Mbay). Mereka menyusuri Pakicaka pauhea
sampailah di napu wedhu/napu welu tepat di kantor Lurah Dhawe sekarang. Ketika
itu masyarakat Ola dhawe sedang melaksanakan upacara “ boaloza/ kemper/
berburu. Mereka melihat rombongan Karaeng Mbay, dengan pakayan – pakayan ala
gowa makassar, dan prajurit – parajurit sambil membawa alat perang, harta benda
dan bendera, dan mereka terkejut sehingga kabar ini sampai ke kampung Ola
dhawe.
Tuan Tanah Ola dhawe beserta Tuju bae menemui Karaeng
Mbay, dan menawarkan beberapa “ mera doka” /perhiasan. Namun Karaeng Mbay mengatakan”
ghami
nu lako lio len “ tuan tanah Ola dhawe berkata “ mi lako lio len le sena nggolo
ngise toro te ana jodhok tegalai te ana radhi? Artinya “ kalian tetap
berangkat ke Ende Lio apakah disana cara memetik terung dengan menjolok da
memetik tomat gunakan tangga” le tana mose , se’e tanah mose won”dan akhirnya
mahar subhi kepada Karaeng Mbay dari Tuju Bae adalah Tanah.
Mahar tanah ini dikukuhkan dengan upacara seremonial adat
Mbay – Dhawe, dengan tujuan persehatian dan persaudaraan untuk selamanya. Pekiklah kalimat “ Ulu watu goi ikon watu ndoa”
maka ditancaplah sebatang kayu hidup ( Pu,u Mondo) dan disusun batu – batu
mengitari kayu tersebut ( Pu,u mondo dan
susunan batu masi ada terletak di kampung Nggolombay lama ). Pekikan Adat (
Bheak ) dari Dhawe “ Ruta Ma’e sua, watu mae waga, ruta sua ne watu waga foko bogho tuka
bheka “ artinya “ Kotoran yang sudah jatuh jangan di angkat lagi, batu
yang sudah terkubur jangan diungkit lagi, ketika melanggar leher akan bengkak
perut akan pecah. Orang Mbay membalas pekikan yang berbunyi” Ghaju te woka nggate ngaku
ghajun, ghaju pireng te dhawe, Watu te pike nggate ngaku watun, watu pireng te
Mbay, Mbay ne Dhawe ka’e ne are weta ne nara tu’a ne kesa. Artinya “
Kayu ditanam bukan sekedar kayu tetapi tanda dari kemaluan lelaki dhawe, batu
yang di susun bukan sekedar batu tapi tanda kemaluan wanita Mbay, Mbay dan
Dhawe kakak beradik, dan bersaudara”, diserahkan pula seremonial adat mbela,
sogo
dan koro.
Mbay dan Dhawe bersatu dan tak bisa dipisahkan dalam persekutuan masyarakat
Mbay – Dhawe.
saya tidak tau persis cerita aslinya, tp ada kalimat yang mirip atau sama persis dengan cerita perbatasan antara suku Dhawe dengan suku Redu (Rendu), ketika perebutan perbatasan tanah Rendu dan Dhawe ada kalimat yang sama yaitu uta Ma’e sua, watu mae waga, ruta sua ne watu waga foko bogho tuka bheka “ artinya “ Kotoran yang sudah jatuh jangan di angkat lagi, batu yang sudah terkubur jangan diungkit lagi, ketika melanggar leher akan bengkak perut akan pecah. Entah yang benar yg mana tp pada intinya kita semua sudah bersaudra, ka'e ne azi peka
BalasHapusLuar biasa sejarah MBAY.
BalasHapusSangat bermanfaat... saya baru tahu sejarah mbay...
BalasHapusMantap ami..kami masih harus bnyk belajar..
BalasHapusIya ine, ini baru sepenggal cerita sejarah, nanti ada lnjutan
BalasHapusMau tau lagi kelanjutannya seperti apa Om, Mantul 👍
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusLuar biasa sejarah Mbay, sangat bermanfaat 🤗🙏
BalasHapusHotel Casino & RV Park - Mapyro
BalasHapusFind the cheapest 광양 출장샵 and quickest way to get from Casino 계룡 출장마사지 Hotel & 김포 출장안마 RV Park to 제주도 출장샵 The Cosmopolitan of Las Vegas on Mapyro. Discover your local prices, photos and detailed 경상북도 출장샵